Kejahatan Pencemaran Nama Baik Atas Pemberitaan Pers di Kota Palangka Raya
DOI:
https://doi.org/10.33084/restorica.v3i1.635Keywords:
Pencemaran Nama Baik, PersAbstract
Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers. Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Pihak yang merasa kebebasan pers sudah dibelenggu dengan perangkat peraturan hukum pidana di luar UU Pers mengusung istilah "kriminalisasi pers". Artinya, jurnalis (pers) yang bersaksi dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya diarahkan (direkayasa) lewat jalur hukum untuk dapat dipidana penjara. Istilah ini juga dimaksudkan untuk menggambarkan ketidakadilan yang dialami oleh pers akibat pemaksaan (perekayasaan) penggunaan pasal-pasal hukum pidana (KUHP). Insan pers merasa bahwa ada upaya sengaja untuk memberangus, mengobok-obok, menjerat, dan bahkan mematikan kehidupan dan kebebasan pers. Sebaliknya, pihak yang merasa bahwa pers sudah "kebablasan" Gambaran kejahatan pencemaran nama baik atas pemberitaan pers di Kota Palangka Raya adalah sebagai berikut: Akibat minimnya pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan undang-undang tentang pers menyebabkan adanya ketidaktahuan mengenai langkah apa yang harus di tempuh ketika terjadi pemberitaan yang merugikannya, hal ini memicu pemecahan masalah pers melalui jalur-jalur diluar mekanisme undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, seperti jalur pidana dan atau premanisme baik kepada wartawan yang bersangkutan atau kepada pihak sumber berita yang mengakibatkan munculnya pemberitaan tersebut. Disamping itu pola kemitraan antara perusahaan pers dengan pihak Kepolisian sering menimbulkan pelayanan yang tidak kooperatif terhadap pengaduan masyarakat dalam hal adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap mekanisme hak jawab, sehingga masyarakat cenderung memilih untuk tidak memperpanjang perkara pers.
Downloads
References
Kansil C.S.T, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2005
Kompas, Sabtu 02 April 2005
Kusuma Willy, Aspek Kultural Teknologi, Pustaka Salman ITB Bandung 1983
Lubin Mulya, Realitas Hak Untuk Mendapatkan Informasi dan Berkomunikasi di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan No. 4 Tahun XVI, Dewan Pers Nasional dan Lembaga Informasi Nasional, Jakarta, 1998. Majalah Tempo, Edisi No. 3 – 9 Mares 2003.
Ombudsmen, Jawa Pos, 11 April 1998
Pidato pengukuhan guru besar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, 1998.
Saleh Ismail, Wajah Pers, www.hamline.edu, Jakarta, Desember 1997
Syah Sirikit, Media Massa Di bawah Kapitalisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 1999.
Tim lembaga Informasi Nasional, Delik Pers Dalam Hukum Pidana, Dewan Pers Dan Lembaga Informasi Nasional, Jakarta 2002.
Lchrowi zaim, Hak Jawab Dalam UU Pokok Pers, pustaka semesta, Jakarta, 1996 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers.
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
License
All rights reserved. This publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording.